Menjadi Muslim
Yang Cerdas
Bismillah...
Bertaqwalah
kepada Allah sebagaimana rasulullah lakukan dan tiga generasi sesudahnya
bertaqwa (Sahabat, Tabiien, Tabiut taabiien).
Tuntutlah ilmu
sebagaimana cara para sahabat menuntut ilmu, kita harusnya sadar jarak kita
dengan Rasulullah sudah terlampau jauh, ini bisa menyebabkan kesalahan tafsir
perbedaan pendapat, dan hal lainya
Secara pribadi,
saya prihatin banyak da'i yang masih belum benar-benar memahami islam secara
mendalam namun sudah mengisi program acara di televisi nasional. Sedangkan da'i
yang keilmuan islamnya sudah bisa dibilang capable malah hampir tidak memiliki
kesempatan berbicara dimedia.
Media adalah
faktor penting untuk menggerakan, mempengaruhi dan menyampaikan informasi
kepada masyarakat luas, jika informasi yang disampaikan salah maka Na'udubillah
himindzalik.
Di postingan
kali ini, saya kembali mengingatkan mari menjadi muslim yang cerdas, mari
mendengarkan dengan hati dan pikiran yang jernih agar dijaman sekarang kita
tidak mudah terjerumus pada hal yang bathil.
Saya pernah
menoton sendiri acara dakwah di sebuah televisi nasional, seorang penceramah
mengatakan bahwa yang dia bilang adalah sebuah hadits, namun jelas sekali salah
yang barusan dia ucapkan adalah sebuah peribahasa arab bukan hadits, hal
seperti ini harusnya sudah dia ketahui.
Baik, anggap
saja kita tidak miliki kuasa untuk merubah format acara di televisi tersebut
namun kita tetap bisa menjadi pendengar muslim yang cerdas. Tips berikut bisa
memudahkan kita untuk mengetahui kualitas seorang pendakwah dan menjauhkan kita
dari informasi yang salah tentang islam....
MELAKUKAN SUNNAH
Sunnah itu
adalah perilaku, kebiasaan Rasulullah. Secara fiqih iya, sunnah bila
ditinggalkan tidak berdosa. Para penuntut ilmu jaman dahulu, sebelum belajar
dengan seorang ulama, biasanya orang itu akan sampai menginap sampai tiga hari
untuk mengetahui bagaimana ulama ini mengamalkan sunnah. Bila dianggap sesuai,
baru mau belajar. Tentu dizaman sekarang tidak bisa diterapkan cara seperti
ini, tapi mudahnya adalah dengan mengetahui ciri-ciri fisik (yang sesuai
sunnah), gaya bicara (menunjukkan akhlak), dan cara mengajar (menunjukan
kedalaman ilmu). Sesungguhnya orang yang berilmu pasti omongannya akan selalu
berdasarkan (menyebut) ayat Quran atau Hadits, atau referensi ijtihad
ulama-ulama besar terdahulu.
Dari perkataan
sebelumnya kita dapatkan petunjuk dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam
serta para shahabat dan tabi’in (serta ulama lain setelah mereka) agar kita
mengambil ilmu dari orang yang alim, ’adil (terpercaya dalam agamanya) dan
istiqamah, serta melarang mengambil ilmu dari orang-orang jahil dan fasiq.
Al-Imam Malik bin Anas menambahkan : ”Ilmu tidaklah diambil dari empat orang :
من سفيه معلن بالسفه
وإن كان أروى الناس ولا تأخذ من كذاب يكذب في أحاديث الناس إذا جرب ذلك عليه وإن كان
لا يتهم ان يكذب على رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا من صاحب هوى يدعو الناس الى
هواه ولا من شيخ له فضل وعبادة إذا كان لا يعرف ما يحدث
”(1) Orang yang
bodoh yang menampakkan kebodohannya meskipun ia banyak meriwayatkan dari
manusia;
(2) Pendusta
yang ia berdusta saat berbicara kepada manusia, meskipun ia tidak dituduh
berdusta atas nama Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam (dalam hadits);
(3) Orang yang
menurutkan hawa nafsunya dan mendakwahkannya; dan
(4) Orang yang
mempunyai keutamaan dan ahli ibadah, namun ia tidak tahu apa yang dikatakannya
(yaitu tidak faqih)” [Al-Kifaayah 1/77-78].
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar